Sunday, October 01, 2006

Wacana Pertama (Tentang Sistem Pendidikan)

Iseng setalah saur dan tidak bisa tidur lagi, kayaknya pengen nulis sesuatu, soalnya kalo tidak kok saya merasa rugi, hehehehe, kali ini saya terinspirasi oleh bahan dimilis yang dilontarkan oleh rekan saya Arya, kira2 ini judulnya :
“SKRIPSI: Antara Ke-lulus-an dan Ke-lolos-an OLEH : AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku “Mite Harry Potter”(2005, Jalasutra)” err… untuk isinya lebih jelas mungkin bisa googling [hehehe salah satu ciri orang yang kecanduan internet, menganggap googling adalah “mbahnya” informasi, hehehe]. Mengapa saya merasa tergelitik, karena kebetulan saya sedang mengambil Tugas Akhir di tahun ini [sekalian mohon doa dari rekan-rekan ya… hehehehe] dan kebetulan topic tersebut membahas ttg skrpsi atau TA sama saja, yang membuat saya tergelitik disini adalah ternyata mindset mahasiswa jaman skrg ya “seperti itu” [mungkin including saya yak], aduh saya tidak bisa menjelaskan “seperti itu” itu seperti apa, namun ada komen yang muncul yang menurut saya menarik. Dan kebetulan saya sudah meminta ijin ke beliau untuk meng-copy-nya di Blog saya ini [soalnya saya kok rasanya sudah banyak tidak meminta ijin untuk copy paste sesuatu, yah setidaknya utk saat ini saya harus minta pringisi dulu sama yang empunya], dan yang lucu-nya rekan saya yang bernama Rienthar, menjawab seperti ini : “nggih monggo dikopi, tapi jangan terlalu banyak gula, ntar kencing manis.”
(seperti yang dikatakan oleh salah seoran dosen, "Ilmu itu milik Gusti
Allah, manusia cuma menggunakannya, jadi jangan pelit-pelit sama ilmu.")”

Dan saya pun hanya tertawa. Dan seraya mengangguk-anggukan kepala, ”butul-butul itu ilmu yang kekal hanya milik Gusti Allah, yang lain belum tentu benar, kebenaran mutlak hanya ada di Gusti Allah dan Kitab-Nya, kebenaran yang ada didunia belum bisa disebut mutlak” pikir saya..... aduh rasanya kok penuh dengan basa basi saya ini yak, langsung saja saya copy [Ctrl+C] paste [Ctrl+V] saja yak, ini adalah kutipan komen-nya :

MENJADI PENELITI?

”Tidak semua orang memiliki keinginan untuk menjadi seorang peneliti (atau dalam bahasa yang lebih keren disebut ilmuwan). Apalagi di Negara Indonesia. Berapa sih gaji seorang peneliti? Apa gunanya menjadi peneliti di Indonesia? Toh hasil penelitian tidak digunakan dengan maksimal oleh negara kita sendiri. Memang tidak adil jika kita membandingkan kondisi Indonesia dengan negara lain, terutama dengan negara-negara maju. Secara financial memang negara-negara maju berkali-kali lipat lebih baik. Tapi paling tidak ada satu semangat yang patut kita cermati dari negara-negara maju. Mereka mempunyai keinginan untuk maju dan berkembang. Dasar untuk maju dan berkembang adalah secara serius memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Caranya? Ya dengan penelitian. Seakan tidak cukup dengan penelitian yang dilakukan oleh sumber daya manusia yang dimiliki, mereka membuka kesempatan bagi manusia-manusia jenius dari
negara lain untuk melakukan penelitian apapun. Bukan tanpa maksud negara-negara maju memberikan biaya penelitian bagi orang-orang jenius dari negara lain (terutama negara berkembang). Hasil-hasil penelitian tersebut nantinya akan digunakan sebaik-baiknya menguasai negara lain. Bukan dengan senjata, melainkan menguasai pasar ekonomi. Ini adalah bagian dari imperialisme modern. Jadi jangan heran kalau Indonesia sekarang menjadi pasar besar bagi produk-produk negara besar. Indonesia terbukti sebagai negara konsumtif.
Bagaimana negara-negara maju bisa mengetahuinya? Jika ingin mendapat jawabannya, tanyalah pada ilmuwan-ilmuwan social yang telah mendapat beasiswa atau dana penelitian, misal dari Ford Foundation. Jadi yang membocorkan rahasia negara kita, ya kita sendiri. Kapan negara kita bisa seperti negara-negara maju? Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, cukup direnungkan saja.

Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi pikiran dan pengalaman dengan teman-teman sekalian. Tulisan ini sebagai tanggapan dari posting dari Kawan Arya tentang `Kelolosan, Kelulusan, dan tetek bengeknya'. Tidak saja karena Kawan Arya meminta pada saya untuk menanggapi, tetapi juga karena saya memang ingin mengungkapkan sedikit kegeliasahan saya.

Saya sependapat dengan Kawan AUDIFAX. Situasi yang dikemukakan oleh beliau mirip dengan yang terjadi di lingkungan akademis kampus saya. Kecenderungan untuk `lolos'daripada `lulus' lebih besar. Lolos dari neraka jahanam yang bernama perguruan tinggi untuk kemudian masuk ke dalam neraka lain. Kuliah, KKN, dan ditutup dengan skripsi hanya menjadi kegiatan rutin di perguruan tinggi. Jika demikian, maka nilai (value) dan esensi pendidikan di perguran tinggi tidak akan didapat. Sarjana adalah ahli dan bukan tukang. Ahli dibentuk melalui serangkaian pendidikan intelektual. Ahli harus bisa mengatasi dan mencari tahu jawaban dari suatu masalah. Mengatasi dan mencari tahu dari suatu masalah didapat melalui penelitian. Jadi sarjana harus bisa meneliti.

Menjadi peneliti atau melakukan penelitian memang bukan perkara mudah. Ada idealisme di dalamnya. Idealisme tersebut adalah keinginan teguh untuk mencari tahu jawaban dari suatu masalah dan mempertahankan jawaban tersebut. Seperti yang dikatakan Kawan AUDIFAX, jawaban tidak akan digolongkan menjadi benar atau salah. Jawaban diukur berdasar serangkaian argumen pendukungya (mulai dari metode, teori, hingga validitas data yang digunakan).

Hasrat ingin tahu adalah modal dasar untuk melakukan penelitian. Melalui penelitian kita akan menjadi tahu dan bukan menjadi orang yang sok tahu. Ada perbedaan antara orang yang biasa melakukan penelitian dengan orang yang tidak terbiasa melakuan penelitian. Orang yang biasa melalukan penelitian akan mempunyai alur pikir yang logis dan urut.
Bicaranya pun sangat hati-hati. Jika memberikan pendapat atau pernyataan pasti ada dasar dan fakta yang akurat. Lain halnya dengan orang yang tidak biasa melakukan penelitian. Orang-orang semacam ini cenderung tidak beralur pikir logis dan suka
membuat pernyataan yang asal dan sok tahu. Ingin tahu perbedaan keduanya di dunia nyata, lihatlah dalam Kabinet Pemerintahan RI sekarang. Bandingkan antara Menteri Ekonomi (Sri Mulyani) dan Wapres (Si JK). Bu Mulyani berasal dari kalangan akademisi lulusan UI, sedangkan Si JK adalah pengusaha. Bu Mul pasti biasa melakukan penelitian, sedang Si JK biasa berjualan beras impor. Bu Mul sangat berhati-hati dalam mengambil atau memberikan pernyataan atau keputusan, sedang Si JK biasa obral janji dan asal ngomong.

Semua orang bisa menjadi peneliti, namun tidak semua orang mempunyai hasrat atau keinginan untuk mengetahui yang mereka tidak tahu. Cenderung pasrah dan tidak mau memaksimalkan otak yang dimiliki. Dari yang saya amati, fenomena pasrah dan malas berpikir terjadi di sebagian besar mahasiswa di lingkungan akademisi di Jurusan saya.
Menerima mentah-mentah apa yang diajarkan oleh pengajar. Apa yang diajarkan adalah dogma yang tidak boleh ditentang. Mahasiswa kehilangan daya kritisnya. Jadi kuliah di perguruan tinggi hanyalah ritual untuk mendapat gelar sarjana. Lebih lanjut ketika saya melihat kurikulum pendidikan, saya berani berpendapat bahwa mahasiswa dididik menjadi tukang yang terampil menggunakan alat (dari yang sederhana sampai yang paling canggih). Mahasiswa tidak dididik menjadi ahli yang dapat memecahkan masalah
keilmuan yang dihadapi. Kurikulum tersebut disusun berdasar prediksi pasar (Pasar apa? Pasar hewan? Tampak sekali kalau kita semua sudah masuk dalam rantai kapitalisme).

Pernah saya dengar seorang kakak angkatan yang berkata `apa itu idealisme!". Ingin rasanya saya menarik bibir mulut orang tersebut. Hati terbakar panas. Tapi saya meyakinkan diri saya, orang yang idealis akan dapat menunjukan kualitas idividunya. Hal ini bukan omong kosong. Skripsi mahasiswa idealis bermutu tinggi, istimewa, dan langka. Skripsi bermutu tinggi dihasilkan dari orang-orang yang berkeyakinan teguh untuk memaksimalkan otak yang dimiliki. Mahasiswa seperti ini akhirnya dapat menunjukan jati diri lebih nyata.

Kembali ke masalah `lolos' dan `lulus', kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mahasiswa yang ingin segera lolos dari perguruan tinggi. System memang mengharuskan demikian. Lulus cepat pada usia semuda-mudanya, kemudian mencari kerja. Saya pun kadang berpikir demikian. Skripsi dikerjakan asal jadi, yang penting gelar sarjana dari perguruan tinggi negeri ternama. Apalagi dengan `era otonomi daerah', primodialisme semakin mendukung keinginan para mahasiswa untuk lulus secepat-cepatnya. Putra daerah lulusan PTN ternama kemungkinan besar mudah diterima sebagai pegawai pemda setempat. Jadi buat apa mengerjakan skripsi terlalu serius? Toh Pak Bupati tidak akan
memeriksa atau membaca skripsi yang dibuat.

Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagi saya, yang paling penting, bukan menjadikan peneliti sebagai profesi, tapi menumbuhkan sikap dan perilaku peneliti di kehidupan sehari-hari. Kita dapat mencari tahu bagaimana peristiwa atau fenomena yang terjadi di sekitar kita. Caranya dengan menggunakan pisau analisis kita. Pisau analisis
terbentuk melalui kebiasaan menggunakan akal sehat dan logis (jadi sikap dan perilaku peneliti adalah sikap yang sekuler). Bagaimana kita bisa mempertajam pisau analisis kita? Kita bisa mempertajam pisau analisis dengan cara biasa melakukan penelitian, dan bagi mahasiswa S1, skripsi merupakan sarana yang paling tepat untuk itu.

Saya tidak sependapat jika ada beberapa perguruan tinggi yang mengganti kredit akademik skripsi dengan kegiatan lain, misal praktek kerja lapangan. Fenomena ini marak di berbagai perguruan tinggi swasta di Jogjakarta. Memang mahasiswa akan cepat lulus, tapi cara-cara seperti ini jauh esensi pendidikan sarjana. Jika memang pts-pts tersebut sudah mantap mengganti skripsi dengan kegiatan akademik yang lain, maka sebaiknya jenjang pendidikan yang selenggarakan bukan lagi S1, lebih cocok D4. Setingkat sarjana, tapi bukan sarjana.

Bagiamana dengan teman-teman yang telah menyandang gelar sarjana? Apakah dalam proses menyusun skripsi telah melakukan penelitian? Atau skripsinya membeli?
Semua terserah teman-teman. Tapi bersyukurlah, paling tidak teman-teman telah `lolos' dari kejamannya neraka pendidikan nasional.”

[Ada yang saya edit disini, soalnya rada sensi saya mbaca-nya huekekekeke]

Hempf... cukup panjang memang, saya pada waktu pertama membaca juga berpikir, edan.... orang ini sungguh2 edan, pola pikir (mind set) orang ini kok beda pada orang awam, tapi masuk akal, dan saya yakin dengan teori-nya seharusnya para lembaga eksekutif bisa melihat hal ini untuk dijadikan salah satu acuan, salah satu peringatan mungkin hehehe..... atau bahkan ditarik sebagai staff ahli untuk merubah sistem [tapi saya rasa hal ini tidak mungkin karena di Indonesia kalo mau jadi staff ahli setiadknya harus mengantongi ”selembar” ijazah, minimal S2 pula *no offense lho Tar* cuman saya rasa dengan pola pikir seperti sampeyan [red:anda] kayanya sudah bisa menemukan solusi buat sesuatu]

soalnya takut juga sih liat sistem pendikikan yang kata rekan Rienthar seperti neraka [coba baca dibagian bawah : lolos dari kejamnya neraka pendidikan], lalu kemudian saya merasa tergugah untuk menimpali apa yang rekan Rienthar lontarkan, karena pasti ada pro dan kontra-nya dong, kalo isinya pro semua dunia mana enak? Kaga berseri atuh.... tapi kalo cara2 untuk kontra-nya bener lho ya... kalo cara2 yang digunakan untuk meng-counter kaga bener mah percuma... itu mah bukan kontra, namum rusuh... hehehehe... halah Bungky... Bungky lagi-lagi kamu berbasa-basi ria, udah langsung sahaja ke pekok, eh salah ke pokok permasalahan , dan dibawah adalah tanggapan dari saya pribadi :

Freaxy mbales:

”hehehe terus terang saya merasa malu dan ada sedikit yang harus saya komentarin... terus terang emang saya menelan idealisme saya bulat - bulat karena kalo saya tetep idealis mungkin saya akan lulus 2 tahun dari saat ini, terus terang judul yang saya ambil ini tidak sesuai dengan keinginan saya, tapi apa mau dikata, kalo saya idealis membabi buta [saya mungkin masuk dalam group babi, (red:group babi adalah kumpulan anak2 yang mengambil TA tahun ini, including Firman sbg raja babi-nya) tapi setidaknya saya tidak buta hehehehe] saya juga ngga tega dengan keluarga saya yang membiayai saya, sudah banyak uang yang dikeluarkan oleh beliau, mungkin lain crita kalo saya sudah kerja [seperti rekan Arya] yang bisa menghasilkan duit sendiri, saya yakin akan saya kejar mimpi dan idealis saya membuat sesuatu yang wah... dan ngga asal2an hehehe saya membayangkan Rienthar menarik mulut saya, karena saya ngga paham konsep idealis hehehehe..... :D

Tapi yang saya sedikit tidak sependapat dengan rekan Rienthar adalah, tumpulnya ketajaman analisis kita, walaupun kita memilih opsi "lolos" daripada "lulus" itu kembali kepada individu masing2, kalaupun mahasiswa yang memilih "lolos" itu mencari referensi ngalor ngidul dan mendapatkan ilmu yang baru serta, mencari data dan fakta, serta mencerna dan menganalisis semua penelitian yang notabene hanya utk "lolos" [saya pribadi mengakui kalo saya berniat "lolos" bukan lulus] apakah itu tidak bisa dikatakan bahwa kita mempunyai analisis juga? Karena pada dasarnya kita ini belum bisa "berteori" karena, kembali ke sistem pendidikan yang seperti lingkaran setan, bahwa istilahnya teori kita bisa dipertimbangkan atau bahkan diterima jika kita sudah mengantongi selembar ijazah. Itu yang menjadi mind set orang awam pada umunya, saya yakin kalo teori rekan Rienthar ini masuk akal dan bisa diperdebatkan, dan saya yakin rekan Rienthar menguasai topik yang dikemukakannya, tapi kembali lagi, kita ini baru calon Sarjana, yang hanya berhak mengutip Teori, bukan membuat Teori [di dalam konteks sistem pendidikan yang saya kutip dari rekan Rienthar "kejamannya neraka pendidikan nasional"]

Tapi saya ada setuju-nya dengan rekan Rienthar bahwasanya banyak PTS yang mengganti Tugas Akhir / skripsinya hanya dengan kegiatan akademik yang lain, soalnya itu sama saja mahasiswa tidak beranalisis [setidaknya] jadi mungkin kasarnya mereka hanya dipersiapkan di dunia kerja, bukan membuka dunia kerja, dan menjadi peneliti, seperti yang rekan Rienthar bilang [Kurikulum tersebut disusun berdasar prediksi pasar (Pasar apa? Pasar hewan? Tampak sekali kalau kita semua sudah masuk dalam rantai kapitalisme).]

Saya rasa sekian tanggapan dari saya.. dan selain itu saya juga meminta ijin kepada Rienthar agar tanggapan diatas bisa saya kupi di Blog saya.... apakah saudara Rienthar berkenan? soalnya analisisnya menurut saya tajam sekali...

*yangkepengennyalulustapiternyatamasihhanyasebataslolos,hehehehe*

sengaja saya tidak potong postingan Rienthar agar jelas maksudnya....”

Puff.... lalu ada suara di sebelah kanan taskbar saya dari YM! yang menandakan ada e-mail yang datang ke milis, ”halah......ternyata ada yang menanaggapi topik ini lagi????” pikir saya, dan setelah saya lihat, ”oww rekan Arya rupanya”, daripada nanggung saya kutip juga aja komentar dari rekan Arya yak, agar lebih afdol, dibawah ada tanggapan dari rekan Arya :

”pernah suatu saat, saya mengikuti acara bedah buku dgn pembicara Prof Dr Jimly Asshidiqie, Ketua MK RI.

Jimly, yg juga guru besar FH UI, mengungkap, bahwa dirinya pernah diminta mengevaluasi skripsi2 di Fakultas Hukum PTS-PTS yang tergabung di dalam Kopertis wilayah I, Jakarta (kalo nggak salah, yg saya ingat cuman Kopertis V utk Jateng dan DIY). (red : FYI kalo wilayah IV itu wilayah Jawa Barat & Banten, Ya)

Ia mengungkapkan fakta, dr seluruh skripsi khusus bagian perdata, lebih dari separuhnya (50%) adalah skripsi yang tidak jauh2 dari urusan perceraian dan perkara warisan di belakangnya. dia bilang, minim sekali topik2 baru yg ditulis mahasiswa S1 dalam skripsinya. mengejutkan? tidak!

saya menyadari kok, kondisi jaman sekarang seperti apa. jaman edan ini menciptakan pendidikan tinggi dengan biaya yg sangat mahal. biaya yang hampir pasti tidak akan terjangkau oleh PNS yg pensiun pada Gol IIIB seperti bapak saya. lantas, biaya yg tinggi itu membuat mahasiswa hanya berkonsentrasi mengejar nilai tinggi, kelulusan dlm jangka 3 - 4 tahun saja. mereka tidak pernah berproses secara benar. mereka menerima ilmu yang searah. jarang, bila tidak mau disebut tidak ada, terjadi proses tukar menukar informasi atau proses dialog. mereka tidak pernah diajarkan untuk berpikir kritis. berpikir filosofis dan radikal. tentang, misalnya, apa sih makna ilmu pengetahuan itu? untuk apa sih ilmu pengetahuan yang saya peroleh?

pendidikan tinggi kita hanya menciptakan tukang. saya setuju benar dgn pendapat rentar! pendidikan di FH (UGM) hanya menciptakan tukang2 yang ahli membuat kontrak, membuat surat kuasa kepengacaraan, membuat legal draft undang-undang, dlsb. that's all!!! dosen2 sangat jarang mengajak mahasiswa berpikir kritis tentang, misalnya, apakah UU Ketenagakerjaan perlu direvisi atau tidak? kalau misal direvisi, revisi yang bagaimana? jika tdk direvisi, trus langkah apa yang ditempuh? barangkali, yang kuliah di IF juga cuman diajar menjadi tukang. tukang reparasi komputer, tukang membuat program, tukang membajak program (dgn membuat SN generator, misalnya. hehehehehe), atau tukang input data? tapi yang ini sih, cuma mungkin, karena saya nggak mengalami sendiri.

menjadi tukang (tanpa bermaksud merendahkan profesi tukang), hanyalah orang yang sanggup membuat sesuatu hanya atas dasar perintah. tukang tidak cukup mampu untuk menyusun sebuah konsep, memaparkan sebuah visi, apalagi meneliti utk mengembangkan aspek keilmuan dalam dirinya. ia bekerja, jika ada yang menyuruhnya bekerja. pengembangan ilmu pengetahuan bukanlah tanggung jawabnya. tukang membuat kontrak, ketika membuat kontrak ya hanya berpikir, bagaimana membuat kontrak yang baik? bagaimana caranya agar klausul2 di dalamnya menguntungkan klien saya, yang tentu saja sudah membaya saya mahal-mahal? dalam pembuatannya, tukang membuat kontrak itu akan menengok buku kumpulan kontrak yang sudah diterbitkan oleh berbagai macam penerbit. atau cukup melihat di Folder E:/Data/Kontrak/template kontrak.doc
ngapain membuat kontrak dgn berpikir sendiri? mungkin begitu jalan pikiran para tukang itu.

karena itulah, mahasiswa cenderung mencari mudahnya saja. "ah ngapain sih mbuat skripsi tentang hal-2 yang baru? saya kan ngejar cepat lulus. kalo saya mau mbuat skripsi tentang hal baru, belum tentu ada bukunya? (ya iya, wong buku di perpus FH UGM kuno-2, tentu saja literatur ttg problematika hukum terbaru sulit ditemukan, nyari di jurnal2 hukum, beih....jurnal hukum FH UGM aja sudah mati suri, sementara jurnal luar negeri mesti bayar), belum tentu dosennya setuju, dan belum tentu dosen dan orang lain ngerti".

dosen malas, mahasiswanya lebih malas lagi! mereka cuma cari enaknya. urusan amat sama pengembangan ilmu pengetahuan. pengembangan ilmu pengetahuan kan urusannya dosen2 dan profesor2 di atas sana (maksudnya, di lantai 2). *padahal dosen dan profesornya jg lebih rajin kejar setoran dgn ngajar di sana-sini daripada meneliti dan mengembangkan kapasitas intelektualnya sendiri...hehehehe...apes, apes!*

untuk diri saya sendiri, yang baru berencana nggarap skripsi, saya berharap masih bisa menemukan idealisme itu. mungkin saja, di tengah jalan panjang dan tampak bagai terowongan gelap tak berujung itu, saya bisa kehilangan idealisme itu. sejuta alasan dan apologi tentu saja takkan lupa saya siapkan sebagai pembenar utk saya melipat idealisme itu dan menyimpannya di kantong belakang celana jeans saya. toh, meskipun Rienthar mengancam ingin menjewer bibir saya, bakal lebih banyak orang yang memuji keputusan saya....bahwa saya mahasiswa yang baik, lulus tepat waktu (atau paling tidak, sedikit saja telat lulusnya). ironis yah? memang! tapi ini benar adanya!

mungkin, teman2 bukannya makin jelas menangkap isu ini, tapi malah makin mumet? hehehehehehe....

asal tahu saja, jangan memandang UGM hanya sebagai sebuah universitas besar (apa iya?) yang mentereng dan usianya sudah 6 dekade lebih (atau kurang?). UGM juga menyimpang kebobrokan sistem yang kemudian secara perlahan ataupun bergegas, akan menyedot masuk mahasiswa-2 yang nakal dan sukanya "ndagel" dgn tdk mau menuruti aturan rezim Rektorat, Dekanat, dan Jurusan (ya kira-2 seperti kangmas Rentar yang mahasiswa FIB itu, mungkin). Pada akhirnya, yang tersedot itu memang tak lebih dan tak kurang hanya menjadi tukang. sementara, yang punya idealisme barangkali cuman melongo di luar lingkaran dgn tak berbekalkan selembar kertas sakti bernama Ijazah S1. mereka, mungkin saja mereka jadi tukang pun sudah tak bisa, tapi mereka yakin masih menyimpan kobar idealisme, dan mereka akan coba melawan dari pinggir. meski tenaga perlawanan itu hanya akan terlihat dan terkesan kuat pada awalnya saja. pada akhirnya, mbleret, seperti teplok yang mulai kehabisan minyak.

ironis, dan parah, sungguh.
tapi, sekali lagi, pernahkah terbayangkan di kepala Anda semua bahwa ini nyata. dan kemungkinan besar fakta yang luput dari perhatian anda dan sudah sangat lama dan parahnya melanda universitas/akademi tempat anda berkuliah?

demikian unek2 saya.
salam!
saya yang masih pusing nyari2 judul buat skripsi”

Demikian mungkin kisa-kisah setelah saur [halah... kaya penutup salah satu acara kerohanian di tipi2 ajah, hehehe] jadi mungkin hikmah yang bisa kita petik adalah ”jgn mudah percaya sama orang” hlo... Bungky... apa hubungannya tho??? Dasar wong edan emang kamu ini? Ngga maksudnya ini gini, kalo kita menerima sesuatu ilmu, ucapan, pernyataan, jgn ditelan mentah2, renungkan pikirkan dahulu, karena kita dianugrahi otak oleh Gusti Allah khan buat berpikir, yang nantinya disinkronkan dengan hati kita. Maka dari itu... obrolan2 ini jgn lgs mentah2 dimasukkan dalam otak [halah bung.. bung..sok ngajari kamu, sok menggurui, kamu khan belum jadi Sarjana acan, belum pantes atuh ngomong kek gitu] kekekeke ya.... ya... saya tau untuk dapat ”menasehati” seseorang butuh selembar ijazah, apalagi untuk ber-teori butuh 2-3 lembar ijazah, dan penghargaan dari Universitas / Institusi ternama, yang julukannya nantinya bergelar Professor, haduh2 kok jadi ngelantur kaya gini ya... udah ah... malah jadi ngga nyambung nantinya, mumpung masih nyambung neh, mending ditutup aja ah artikel ini...

Hehe terima kasih buat atensi-nya untuk membaca blog saya... cape ya nge-scroll-nya? Udah atuh jgn marah2 ngga bagus, lagi bulan puasa... pamalii... [red:sedikit berlogat sunda] dan terima kasih pula pada rekan yang telah menyumbangan ide-ide sehingga saya ada gairah untuk membuat artikel / wacana / sampah ini, hehehe....

Selesai ditulis pada pukul 05.28 WDT (Waktu Dago Timur dan Sekitanya :D)

Cheers.

Bungky *yangkepengennyalulustapiternyatamasihsebataslolos”

No comments: